Based on a true
story, when no one understand what would happen after..
Ini adalah sebuah
cerita yang mungkin pernah anda tonton pada sebuah acara sinetron ataupun ftv,
mungkin juga anda pernah melihat sebuah cerita tentang Cinderella maupun Bawang
Putih, atau sebuah cerita tentang kekejaman Mertua yang kaya raya terhadap
menantu yang berasal dari keluarga miskin. Hidupnya menderita hingga
pertengahan cerita dan punya akhir yang bahagia. Percayalah, kehidupan nyata
tidaklah seperti pada sebuah cerita fiksi. Lebih banyak hal yang tidak bisa
diprediksi dan tiba-tiba.
Aku
adalah seorang laki-laki biasa yang bahkan tidak bisa dikatakan pintar,
berprestasi, apalagi terkenal. Hanya ada beberapa orang teman sekelasku dulu
waktu sekolah dan beberapa tetangga serta kerabat saja yang mengenalku. Tapi
secara tiba-tiba sesuatu menjadikan diriku menjadi begitu terkenal, bahkan
dikota kecilku ini. Aku cuma bisa sekolah sampai bangku menengah atas, tidak
seperti teman-temanku yang langsung ke perguruan tinggi atau pergi bekerja ke
kota besar dan sukses dengan keringat mereka. Aku cuma seorang pengangguran
yang hobi main playstation dan hangout tiap malam. Orangtuaku hanya seorang
yang bekerja pada orang lain, dan juga bukan terlahir dari sebuah keluarga yang
kaya raya. Bahkan sampai sekarang, aku masih ingat bagaimana aku sering di
traktir makan, dan lainnya oleh teman-temanku.
Sekarang,
katakan saja aku adalah orang yang berbeda. Aku
akhirnya bisa membelikan teman-temanku minuman dan makanan saat kami hangout,
dan juga bisa memberikan orangtuaku sesuatu yang mungkin tidak bisa diberikan
teman-temanku pada orangtua mereka sekarang. Sebuah hotel yang mungkin memang
tidak begitu besar, tapi menghasilkan puluhan juta tiap minggunya, seorang
istri yang cantik, dan kehidupan yang bergelimang harta sekarang adalah
kehidupanku. Punya mertua yang begitu baik padaku, dan lingkungan kerja yang
semua orang mematuhi perintahku. Apalagi yang kurang, aku sekarang kaya, punya
banyak uang, rumah mewah, mobil mahal, tapi darimana dan bagaimana ? lalu
apakah menyenangkan mempunyai kehidupan seperti itu ? atau ada sebuah beban
tersendiri setelah merasakannya ?
Cerita
ini dimulai ketika aku baru setahun lulus dari sekolah menengah atas dan masih
menjadi pengangguran. Malam hari sekitar pukul sepuluh malam setelah aku pulang
dari main ps dengan teman-temanku tanpa kuduga kedua orangtuaku masih terjaga dan menungguku di sebuah kursi kayu
yang terletak didepan rumahku. Hal yang membuatku
bertanya-tanya kenapa raut muka mereka begitu tegang.
“
Ndri, kamu sekarang cepat tidur, besok kamu akan menikah.” Itu yang diucapkan
orangtuaku.
Apa
yang akan anda lakukan jika tiba-tiba mendengar hal itu saat pulang dari
hangout. Mungkin akan sedikit sama, terkejut, bingung, karena bahkan aku tidak
punya pacar atau perempuan yang dekat saat ini. Lalu dengan siapa ? dan kenapa
?
Seorang
pengusaha kaya raya dikota ini, sekaligus orang yang memang disegani karena
punya beberapa kekuasaan terhadap kota ini, adalah calon mertuaku. Disini,
siapa yang tidak kenal dengan nama Pak Made. Aku juga tahu nama itu, itu adalah
nama dari orang yang mempekerjakan orangtuaku sebagai pembantu dirumahnya. Tapi kenapa dia jadi mertuaku
sekarang, apakah karena aku sudah terikat kontrak sejak lahir dengan anak
perempuannya, atau karena orangtuaku punya hutang yang begitu besar sehingga
aku dijadikan penebusnya ? mungkin kalau aku itu adalah orang yang hebat, atau
paling tidak seperti Nicholas Saputra, atau akan jauh lebih masuk akal lagi
kalau aku seorang perempuan cantik jelita yang diam-diam ditaksir oleh anak
lelakinya. Tapi bukan seperti itu kejadiannya, Pak Made punya seorang anak
perempuan yang usianya sekitar dua tahunan lebih tua dariku, cantik, dan kaya
raya. Apa dia jatuh cinta padaku ? itu juga sesuatu yang tidak mungkin.
Setahuku dia punya pacar seorang atlet Voli yang berasal dari keluarga kaya
karena punya motor bagus, tampan dan lebih banyak lagi hal yang membuatnya
lebih baik dariku. Meskipun dengan tingkah polahnya yang sepertinya tidak enak
untuk dibicarakan. Lalu kenapa malah aku yang nanti akan jadi suaminya ?
Namanya
Lita, seorang yang bahkan belum pernah sekalipun bercakap denganku, dan bahkan
mungkin tidak mengenalku, bahkan sampai saat ini di depan ribuan tamu undangan
di resepsi pernikahan yang begitu megah saat aku dan Lita duduk di kursi
pelaminan. Lita sudah hamil dua bulan dengan kekasihnya dulu, tapi Pak Made
tidak ingin anaknya menikah dengan orang itu dengan berbagai macam alasan. Dia
lebih suka anaknya menikah denganku yang orang biasa. Itu adalah alasannya, dan
bagaimana denganku ? aku tiba-tiba harus menikah dengan seorang perempuan yang
sedang hamil, dan sama sekali tidak mengenalku. Mungkin ada ratusan hal yang
membuatku merasa seperti ini dan
itu.
Alasannya adalah harta, yang ada
padanya. Dan orangtuaku, yang punya banyak sekali hutang, untuk itulah aku harus
mengorbankan perasaanku, menekannya kuat-kuat dan melemparkannya sejauh
mungkin. Apalagi yang kupunya yang bisa membuat orangtuaku bahagia, selama ini
uang sekolahku dibayar dengan hasil hutang sana-sini oleh orangtuaku, punya adik
kecil-kecil yang juga harus dibiayai. Dan pastinya, akan menaikkan nama
orangtuaku karena berbesan dengan orang yang punya nama besar sebesar Pak Made.
Sesuatu yang tidak mungkin tega kutolak, karena itu adalah sebuah kesempatan
untuk membayar hutang dan membiayai kehidupan mereka.
Acara
pernikahan selesai, bahkan aku sendiripun tidak tahu sah atau tidaknya. Karena
hingga malam harinya, tak ada sepatah katapun terucap dari bibir Lita padaku.
Malam pertama yang bisu, dan begitu angkuh meskipun kami tidur dalam satu
ruangan bersama.
“
udah makan ta ?” ucapku coba membangun suasana antar suami istri.
“
heh ! elu itu cuma anak kacung bapak gue ! gak usah sok akrab deh. Gue masih
mending tidur didepan toko daripada mesti tidur sekamar sama elu !” ucapnya
dengan beranjak dari tempat tidur dan berjalan ke arah pintu.
Sama
sekali belum sedikitpun kulihat senyum dari mukanya dari pertama kali kami
bertemu pada pagi sebelumnya. Ini adalah kamarnya, dan bahkan dia keluar
setelah menjelek-jelekkan suaminya dengan raut muka yang semakin asing. Kalau
saja ada yang bertanya seperti apa perasaanku saat ini, mungkin seperti harus
belajar bagaimana menjadi sebuah batu yang tidak punya telinga dan hati.
Yang
sedikit berbeda lagi dengan cerita di sinetron adalah orangtuanya sangat baik
padaku, padahal setahuku dia adalah orang yang keras, punya anak buah disana
sini, bahkan sebagai imbalan karena aku mau menikah dengan anaknya aku diberi
sebuah Hotel salah satu dari sekian banyak usahanya. Memberi orangtuaku uang
dalam jumlah besar, sebagai ganti dariku. Tapi dia begitu keras terhadap anak
perempuannya satu-satunya, karena tiap kali dia melihat kami tidak bersama akan
ada sesuatu yang terlempar dan memecahkan sesuatu didepannya. Inikah yang
disebut dengan pernikahan ? inikah yang dari dulu aku bayangkan tentang sebuah
cinta cita yang dipadu oleh dua orang kekasih ? bahkan foto dalam undangan
pernikahan yang kulihat adalah hasil dari editan photoshop karena memuat banyak
sekali kepalsuan dalam senyum dan rajutan gaun yang seharusnya putih bersih itu.
Hari, hari, dan hari berlalu dengan
situasi yang serupa. Diam, ejekan, dan raut muka yang begitu asing darinya.
Awal dari hari hari itu aku acuh dan menganggap bahwa dia tak penting selagi
aku punya banyak uang dan bisa beli ini itu. Bersenang-senang, dan lain
sebagainya. Meskipun saat malam tiba, aku harus kembali lagi ke sebuah rumah
megah yang begitu berat rasanya cuma untuk masuk kedalamnya dan beristirahat.
Aku masuk kedalam kamar dan sekali lagi setelah menyalakan lampu melihat Lita
yang sedang tertidur dengan wajah memar dan mata yang sembam menangis.
Kasihankah ? ibakah ? atau sesuatu yang sulit untuk kumengerti ? atau karena
kekurang tegasanku padanya sebagai laki-laki ?
Hingga siang hari ini saat masih
berada di dalam hotel, Pak Made ayahnya mendatangiku dengan marah disertai dua
orang anak buahnya.
“ mana si Andri !” bentaknya sambil
menanyai keberadaanku.
Aku yang mendengarnya dari dalam
lobi keluar dan menemuinya meskipun dengan hati yang berdebar bertanya apa yang
akan terjadi padaku selanjutnya.
“ GOBLOK !” teriaknya disertai
pukulan tepat kewajahku. Aku memang tidak terjatuh meskipun terasa begitu sakit
dan takut dan baru sadar kalau hal ini sama seperti yang dia lakukan terhadap
Lita, bahkan hampir setiap hari dia menerima pukulan ini.
“ kamu itu sekarang suaminya ! gak
papa kalau kamu gak suka sama Lita, tapi jadi tegas dikit kalau dia gak mau
nurut sama kamu !” teriaknya dengan penuh amarah, tak sepatah katapun bahkan
bisa kukeluarkan dari mulutku dan hanya gemetar dan takut.
“ kalau kamu gak suka sama tingkah
lakunya, paksa dia buat berubah. Pukul aja dia seperti ini, kalau gak mempan
juga bunuh aja dia !”
Benarkah itu kata yang dia ucapkan
untuk anak perempuannya satu-satunya ? apa memang seorang ayah boleh berkata
seperti itu ? atau memang dunianya adalah sesuatu yang tak pernah kuketahui ?
“ saya lebih milih lihat Lita mati
daripada bareng sama laki-laki itu !”
Ternyata Lita kabur dengan pacarnya
dulu, seisi rumah memang sudah berantakan dan beberapa barang yang pecah
mungkin akibat ayahnya marah-marah sebelumnya. Aku bahkan tak mengucapkan
sepatah katapun, dan ternyata memang terasa begitu sakit hati. Bukan karena
istriku kabur dengan bekas pacarnya, tapi karena sesuatu lain yang tak tahu
harus seperti apa kujelaskan. Bahkan sampai malamnya tiba, perasaan itu masih
terus bertambah dan terasa begitu sakit. Romeo Julietkah ? apakah aku adalah
orang yang menghambat kisah kasih Lita dan pacarnya ?
Pagi sebelum aku sempat pergi ke
hotel, halaman rumah sudah ramai dengan datangnya Lita disertai ayahnya
dibelakangnya. Masih hampir sama, muka lebam dan bahkan berdarah, tangisan dan
entah apa yang harus kuungkapkan. Pak Made punya ratusan mata dikota ini. Jadi
begitu mudah menemukan dimana Lita kabur.
“ Lu emang bajingan !” ucapnya
sambil menahan air matanya dihadapanku sambil berjalan masuk kedalam kamar dan
menjatuhkan tubuhnya diatas tempat tidur. Air matanya kemudian terurai lagi,
cuma kali ini dengan mudah bisa kudengar dari rintihannya.
“ beruntung banget sih lu yang punya
keluarga gak kaya gue” entah apa maksudnya, karena kalau bisa dikatakan aku
juga adalah orang yang menderita karena pernikahan ini.
Hanya saja, begitu keluar dan kabur
ke hotel seperti biasanya aku mendengar berita kalau pacarnya sudah mati.
Pastinya dibunuh oleh anak buah Pak Made. Bahkan mungkin oleh tangannya sendiri.
Hatiku tambah begitu kacau, bertanya apa yang dirasakan oleh laki-laki itu
kalau aku yang ada diposisinya. Apakah hidupku cuma akan jadi seperti ini
sampai nanti ? atau mungkin aku juga akan berakhir seperti laki-laki itu kalau
sampai menyinggung Pak Made suatu saat ?. Sampai malam hari saat pulang kembali
kerumah itu, perasaan takut masih ada, sampai hari berikutnya, malam
berikutnya, dan begitu terus. Sedih, iba, dan bingung apa yang harus kulakukan
saat masuk kedalam kamar, tidur bersama istriku, dan berharap cepat segera pagi
untuk lepas darinya meski cuma sehari. Dan malam harinya pulang melihat istriku
yang belum pernah sekalipun tersenyum, tambah lagi saat malam ini kulihat dia
sudah tergeletak di lantai kamar dengan darah yang berceceran. Takut, dan
begitu gelisah setelah menggendongnya dan menungguinya dirumah sakit. Nyawa
sudah tak ada lagi untuk anak dalam kandungan itu, mungkin karena benturan dan
pukulan yang mengenai tubuhnya dan membuat hancur janin itu.
Pukul empat lebih pagi ini aku mendengar
suara tangisan yang begitu pelan dari dalam ruang yang sepi. Lita sudah
sadarkan diri, tapi entah ada beberapa hal yang membuatku acuh, atau hal itu
malah membuatku ingin ada didekatnya. Kuberanikan diriku untuk menemuinya
didalam dan duduk disampingnya.
“ mendingan gue mati aja…” ucapnya
setelah melihatku duduk diam disampingnya selama lebih dari tiga puluh menit.
“ jangan ngomong sembarangan,”
“ buat apa hidup lagi kalo cuma
sengsara terus tiap hari. Gue gak pernah punya siapa-siapa, keluarga gue gak
seperti keluarga yang lain.”
Perbincangan pertama kami setelah
hampir satu bulan menjadi suami istri malah disertai tangis dan keputusasaan
darinya. Bahkan tanpa sadar mataku mulai memerah dan sedikit menggenang air
mata. Tangannya begitu dingin, dan menggenggam tanganku meskipun dengan tenaga
yang hampir hilang.
“ gue minta maaf Ndri…” ucapnya lagi
sebelum akhirnya dia terlelap tidur dengan air mata yang belum kering di
mukanya. Itu pertama kali kami tidur bersama dan tak sedikitpun ada rasa
terbelenggu. Benarkah harus merasakan sakit dulu baru manusia bisa saling
mengerti ? ataukah nanti saat dia sembuh akan kembali seperti sebelumnya dengan
makian dan hinaan.
Dua hari akhirnya dia dibawa pulang
dan duduk disebelahku didalam mobil, dan untuk pertama kalinya kami duduk
berdua setelah hari pernikahan. Wajahnya sudah tak ada lagi air mata ataupun
amarah seperti biasanya. Meskipun belum menunjukkan senyum yang begitu
kudambakan sejak pertama hidup bersamanya. Lita langsung masuk kedalam kamarnya
dan merebahkan tubuhnya. Aku tak ingin mengganggunya dan memilih untuk ke Hotel
dan kali ini untuk pertama kalinya aku ingin pulang nanti membelikan sesuatu
untuknya. Meskipun cuma roti bakar yang biasa lewat dijalan depan hotel kami.
“ gue gak pernah punya temen yang
bener. Dari dulu mereka cuma seneng kalo gue beliin sesuatu. Seneng kalo minjem
duit dan gak pernah dibalikin. Tapi begitu gue ada masalah mereka semua hilang.
Gue gak pernah punya ibu sejak kecil, dan bokap gue cuma ngomong ke gue kalo
dia lagi marah-marah. Dan saat punya kasih sayang, malah dihancurin sama orang
tua gue sendiri.”
Aku benar-benar tak punya kata yang
bagus untuknya, karena memang aku tak pintar dalam hal seperti ini. Ternyata
memang kehidupannya denganku begitu berbeda. Aku yang dari kecil hidup dengan
suka cita, bersama teman, keluarga, meski tak bergelimang harta. Money also can
buy happiness, but its only a while. When its gone, the happiness also gone
along.
Pagi harinya saat terbangun, roti
bakar yang kubelikan masih utuh diatas piring didalam kamar. Lita sudah tidak
ada disebelahku, tubuhnya tergeletak dilantai kamar mandi dengan darah
berceceran dari sebuah cutter di pergelangan tangannya. Akhir hidupnya terjadi
hanya berjarak beberapa meter saat aku tertidur lelap. Benarkah ini akhir dari
deritanya dan dari derita sejak hidup bersamaku ? bahkan tanpa sadar air mataku
bercucuran melihat akhir dari wajahnya yang tetap berlinang air mata. Tak
sedikitpun raut sedih atau kehilangan dari Pak Made yang masih bisa ngobrol
santai dengan tamu saat hari berkabung ini. Pelita yang bahkan tak mampu
memberi cahaya hingga akhir hidupnya. Pelita yang hidup dengan penuh harta yang
membuatnya bahagia sesaat, dan lebih banyak lagi saat siksaan tubuh dan hatinya
oleh keluarga dan orang-orang yang seharusnya didekatnya. Indahkah hidup kalau
banyak harta seperti ini ? atau indahkah hidup dengan kasih sayang dan tanpa
harta ?
Andriansyah dan Pelita Kusumaningsih
April 2012.
0 komentar:
Post a Comment